Eps. 1 Lika-Liku Mendapatkan Beasiswa Luar Negeri (LPDP, Chevening, AAS, Fulbright, MOE Taiwan, dll.)
Kisah perjalanan ini saya tuliskan untuk anak-anak saya kelak. Kalian perlu tahu, tanpa gagal, kalian tak akan pernah merasakan nikmatnya perjuangan. Jangan pernah kapok ya, dear. Ada banyak pintu yang harus kalian coba. Niatkan semuanya karena Allah.
Sekarang saya
baru sadar, kegagalan tidak selamanya menjadikan kita gagal. Justru dengan
gagal, kita banyak tahu tentang hal-hal yang tidak ingin kita ketahui.
Alhamdulillah, berkali-kali gagal dalam mendapatkan beasiswa S2, saya sedikit
banyak terbuka dengan berbagai prosedur seleksi beasiswa hingga pendaftaran
kampus terkemuka di luar negeri. Mungkin kalau saya tidak jatuh bangun selama
tiga tahun ini, saya nggak akan pernah tahu kalau ternyata ada beasiswa kampus
yang begitu menggiurkan para pemburu beasiswa. Apalagi ini beasiswanya di
Inggris! Sabar, buat kalian yang ingin tahu, terus baca postingan blog saya
berikutnya.
Kali ini, saya
akan sedikit bercerita soal “berwajah baja dalam setiap kegagalan”.
Masih banyak
yang bilang, “Kerja dulu saja biar laku buat seleksi beasiswa S2 di LN!”.
Sering dengar begitu? Awalnya, saya sempat berpikir begitu juga. Tapi melihat
sampai 3 tahun saya berusaha mencari beasiswa dengan status pegawai di kampus
negeri, nyatanya asumsi itu tidak benar. Buat saya, mencari beasiswa itu ada
rumusnya:
Usaha+Gagal=Berhasil
x
Formula ini pun
juga tidak berlaku untuk semua orang sih. Ada
yang berusaha langsung berhasil, ada juga yang nasibnya kayak saya. Kalau perlu
gagalnya pangkat empat. Mari kita sama-sama membayangkan kita menjadi seorang
pegawai di sebuah kantor dan masih bercita-cita untuk lanjut studi dengan
pengalaman yang kita dapat dari kantor. Well, kelebihan
orang yang bekerja lebih dulu sebelum mendapat beasiswa adalah pengalaman kerja
dan nabung, tentunya. Hanya saja, pengalaman kerja ini juga tidak menjamin
kesesuaian dengan bidang yang ingin kita tempuh.
Dulu tahun 2018,
saya memulai karir di sebuah jurnal, bidang kesehatan pula, alias sedikit
banget nyambung dengan background pendidikan
saya. Kalau saya tidak memiliki kapasitas lain, mungkin pekerjaan ini
adalah pekerjaan paling tidak berhubungan dengan yang saya pelajari di S1.
Alhamdulillah, bekal kapasitas (akademik dan non-akademik) yang saya peroleh
selama masa kuliah menjadikan aktivitas saya di jurnal ini terasa lebih mudah. Thanks to the experience as the best teacher! Tahun
2018 awal, masa-masa saya menikmati pekerjaan, belum terlalu berencana untuk
mendaftar beasiswa. Prinsipnya dulu, kerja dulu sambil cari pengalaman, terus
kasih jeda satu tahun baru daftar beasiswa. Eh, ternyata ini pikiran idealis
saya. Kenyataannya, saya bekerja 3 tahun dulu dan baru tahun ke-3 dapat
beasiswa. Lebih panjang dari yang direncanakan.
Meskipun,
bekerja di jurnal ini tidak terlalu berkaitan dengan keilmuan saya, ada banyak
hal baik yang baru saya sadari. Tanpa terpikirkan sebelumnya, saya bisa bertemu
dengan atasan super helpful dan down-to-earth. Buat Bu Ulul dan Pak
Ilham, Ibu sama Bapak sudah memberikan warna tersendiri dalam hidup saya. Saya
yang dulunya terlampau serius, sekarang lebih bisa nyantai berkat bantuan model
kepemimpinan di jurnal ini. Tertawa di atas tugas ternyata lebih menyenangkan
dari pada terus menekurinya! Hahaha
Seperti itu
prinsip saya dulu. Sampai akhir tahun, saya tiba-tiba kepikiran untuk mulai
mencoba daftar beasiswa. Alhamdulillah, tes Bahasa Inggris saya semuanya
gratis. Berkat Beasiswa Aktivis Nusantara, saya diijinkan untuk mengambil IELTS
dengan konsekuensi kalau nilainya di bawah standar, saya harus mengganti
biayanya. Alhamdulillah banget, I was
safe! Nah, bekal IELTS ini yang saya bawa ke sana kemari untuk
mendaftar beasiswa. Saya nggak kepikiran untuk test TOEFL IBT sama sekali!
Beasiswa pertama
yang saya coba adalah Chevening. Akhir tahun 2018, saya mengajukan aplikasi
pendaftaran ke kampus di Inggris agar nanti di aplikasi beasiswa, saya dapat
meyakinkan si penyeleksi tentang kesiapan saya untuk studi. Akan tetapi,
strategi ini tidak sepenuhnya berhasil. Sebelum mendaftar ke Chevening, saya
telah mengantongi unconditional letters of
acceptance dari berbagai universitas. Semuanya lolos tanpa interview.
Bahkan, selain mencoba mendaftar beasiswa Chevening, saya iseng selalu bertanya
tentang beasiswa kampusnya. Namun, buat mahasiswa desa seperti saya, biaya
kuliah di luar negeri sebesar modal buat rumah hahaha. Jadi, meskipun ada partial scholarship, saya tidak tertarik
untuk membiayai menggunakan dana pribadi. Akhirnya perlahan-lahan saya
menyiapkan segala kebutuhan administrasi beasiswa Chevening.ke
Dalam proses
mendaftar beasiswa Chevening, saya telah merepotkan banyak orang hahaha.
Terimakasih buat Mas Jibril yang telah mereview esai untuk pendaftaran ke salah
satu kampus, buat mbak Deasy yang sudah mereview esai untuk beasiswa Chevening
(Kenalnya dari program mentoring Chevening). Saya mengambil jurusan Applied
Linguistics atau lebih spesifiknya Corpus Linguistics. Sepertinya sekitar tahun
2019 akhir, saya mengirimkan aplikasi beasiswa Chevening yang sudah saya
siapkan berbulan-bulan lamanya.
Sayangnya, saya menerima rejection
letter yang pertama.
Lanjut lagi yuk, ini masih panjang sesi daftar-mendaftarnya hahaha.
Akhirnya, saya
kembali mendaftar beasiswa Australian Awards Scholarship. Saya mendaftar
beasiswa AAS di awal tahun 2019. Saya menyiapkan persyaratan sebaik mungkin.
Ada beberapa kenalan saya yang juga alumni AAS. Terimakasih buat Mas Adam dan
Mbak Tika yang sudah bersedia saya repotin hehehe. Sayangnya, saya belum
berhasil sampai tahap wawancara.
Di pertengahan
tahun 2019, seperti mahasiswa Indonesia kebanyakan, kami menunggu-nunggu
aplikasi beasiswa LPDP. Saya menyiapkan semua berkasnya. Jurusan yang saya
ambil tiba-tiba bercabang jadi dua: TESOL atau Applied Linguistics. Entah
kenapa, saya kepikiran lagi untuk mendaftar ke kampus yang ada di daftar LPDP.
Meskipun saya ingin sekali studi di Inggris, saya sadar saya tidak bisa
mempertahankan ego saya dalam kondisi LPDP tidak menawarkan terlalu banyak
pilihan kampus di Inggris pada bidang pendidikan. Alhasil saya membelokkan
keinginan saya. Sampai akhirnya, saya memilih Applied Linguistics, University
of Melbourne. Alhamdulillah, lagi-lagi saya menerima letter
of offer meski saya belum mengantongi beasiswa manapun. Saya membawa
bekal ini untuk mendaftar LPDP.
Saat itu, saya
mengumpulkan semua berkas secara daring. Lagi-lagi saya merepotkan banyak orang
hahahaha. Makasih buat Nunung, yang mau mereview beberapa esai yang banyaknya
sudah kayak diari. Selang beberapa bulan, saya dinyatakan lolos ke tahap tes
tulis. Saya masih ingat, saya belajar Matematika Dasar buat tes tulis ini dari
teman SMP saya dulu. Makasih Icang, guru Matematika yang super telaten menjawab
pertanyaan-pertanyaan bodoh saya hahaha. Setelahnya, panitia mengumumkan
wawancara. Senangnya bukan main. Saya optimis bakal keterima karena dulu saya
pikir komitmen saya kembali ke Madura bisa membuat si pewawancara cukup yakin
dengan kesungguhan saya menempuh studi. Proses persiapan wawancara ini menguras
waktu dan tenaga banget. Saya sempat bergabung di telegram para peserta
beasiswa, dan arus informasi seputar pertanyaan-pertanyaan saat wawancara
bertebaran dari sumber satu dan sumber lainnya.
Sampai saya
benar-benar merasa lelah dengan kekhawatiran orang-orang di grup tersebut.
Secara tidak langsung, menambah kekhawatiran pribadi. Alhasil, saya membuat
rentetan pertanyaan yang mungkin akan ditanyakan oleh si pewawancara. Mau lihat
coret-coretan yang ternyata bikin saya ketawa ketiwi kalau membacanya lagi?
Hahahaha Silahkan yang mau membaca bisa email saya. Jawaban saya mungkin nggak
masuk kualifikasi, jadi jangan ditiru ya hahaha.
Saya masih
ingat, saya kala itu ada di tengah pelatihan kecil-kecilan yang diadakan
jurnal. Semua orang di ruangan, termasuk Bu Ulul dan Pak Ilham, tak sabar untuk
menunggu pengumuman seleksi beasiswa. Hampir jam 1 siang, saya memasukkan username dan kata sandi ke website
beasiswa. Pengumuman beasiswa LPDP diakses mirip seperti SBMPTN. Sedetik
kemudian, saya mendapatkan surat balasan “Anda Tidak Lolos Tahap Interview”.
Rasanya jleb banget nggak sih?
Semua orang di ruangan menarik napas dalam-dalam sambil berbisik “Nggak
apa-apa, Im. Masih banyak kesempatan. Daftar lagi.” Sementara saya? Saya duduk
lemas dengan ponsel di tangan. Rasanya seperti baru disayang, terus diabaikan.
Kalian pasti tahu, seabrek persyaratan administrasi beasiswa LPDP hingga
tes-tesnya yang membuat energi, biaya dan waktu terkuras. Karena medical check-up diminta di awal, mau
tidak mau peserta harus mengeluarkan biaya untuk itu. Terimakasih buat Mbak
Andri yang mau nemenin med check di
RSI Haji dulu hehehe. Semua usaha ini menguap dengan status ditolak. Saya masih
ingat, tahap wawancara ini adalah tahap terakhir. Ini adalah tahap yang nggak
boleh saya sia-siakan, pikir saya. Di hari wawancara dulu, saya membawa semua
sertifikat penghargaan, karya-karya saya, tulisan-tulisan saya, dan semuanya.
Namun, Allah ternyata tidak menempatkan takdir saya melalui LPDP. Lalu, apalagi
yang harus saya lakukan setelah penolakan-penolakan ini?
Tentu saja,
berani untuk menerima penolakan berikutnya! Karena saya akan terus mencoba
sampai Allah benar-benar melihat saya pantas untuk mendapatkan apa yang saya
perjuangkan.
Saya lanjut
mencari beasiswa kampus di Inggris. Getol banget pingin ke Inggris hahaha.
Jadi, saya putuskan untuk menimbang-nimbang beasiswa dari University of
Westminster. Beasiswa ini hanya menjaring 6 mahasiswa terpilih dari seluruh
dunia. Meskipun probabilitas berhasil kecil, saya tidak ingin menyia-nyiakan
kesempatan ini. Saya mengambil jurusan TESOL (Sepertinya Allah mulai
menunjukkan tanda-tanda minat saya yang sebenarnya :D). Saya kembali membaca
persyaratan beasiswa tersebut. Panitia mewajibkan semua peserta mengirimkan
berkas melalui air mail. Sudah
kebayang keluar biaya lagi untuk urusan pengiriman berkas ini. Saat itu, awal
2020, tiba-tiba terdengar kabar Inggris lockdown karena
pandemi COVID-19. Kesempatan ini memaksa saya untuk berani bernegosiasi dengan
pihak kampus. Saya mencoba menanyakan apakah berkas dapat dikirim via email
saja. Alhamdulillah, pihak kampus mengijinkan saya untuk mengirimkan semua
berkas secara daring. Namun, sayangnya, tidak ada yang lebih baik dari
penolakan di awal .
Sebenarnya, ada
satu surat rekomendasi yang tak lepas mengiringi semua aplikasi beasiswa saya.
Surat rekomendasi ini ditulis oleh Bu Ulul, saudara seperjuangan beasiswa yang
terpaksa melepas beasiswa ICDF demi keluarga. Kami sejak awal saling tahu
keinginan untuk melanjutkan studi di luar negeri. Bu Ulul yang mengajak saya
untuk mencoba beasiswa di Taiwan. Awalnya, saya ragu karena beberapa
pertimbangan, misalnya bahasa, kurikulum, lingkungan, dan banyak lagi. Tapi,
kondisi kepepet seperti ini “ditolakin terus” memaksa saya untuk mencoba
mengirimkan aplikasi MoE Taiwan Scholarship. Mahasiswa di kampus Taiwan
biasanya menyebut kami “penerima beasiswa sultan” hahaha. Setelah ditelusuri,
jumlah dana beasiswa ini memang jauh lebih besar dari dana beasiswa kampus pada
umumnya. Kalau tidak keliru, dana beasiswa MoE Taiwan untuk master’s degree sebesar 15.000 TWD. Saya
mulai mencari informasi kampus terbaik di Taiwan melalui Taiwan Education
Center UNAIR. Mereka menyarankan NCTU sebagai pilihan. Thanks to Mbak Alissa yang udah
mengenalkan saya ke beberapa mahasiswa NCTU dan buat Sony yang juga mau cerita
tentang pengalaman studinya di Taiwan. Terimakasih untuk Bu Masitha atas
dukungannya. Saya kembali mengecek daftar kampus yang bekerjasama dengan MoE
Taiwan. Ini sangat penting untuk dicek ya. Bisa jadi kampus kalian tidak
menutupi semua dana semester di jurusan. Saya pastikan MoE Taiwan Scholarship
menutupi semua kebutuhan biaya kuliah selama 4 semester di NCTU dan biaya hidup
tentunya. Beasiswa ini terdengar sangat asing di telinga saya. Namun, saya
tetap memilih untuk mendaftar daripada tidak sama sekali, kan?
Untuk mendaftar
beasiswa ini, kita juga sudah harus siap dengan legalisir ijazah dan transkrip
Bahasa Inggris oleh TETO dan Kemenkumham. Tentunya, legalisir ini nggak
cuma-cuma ya. Karena pandemi juga, saya nggak mau repot urus dokumen dari
instansi satu ke lainnya. Jadi, saya putuskan untuk menggunakan jasa dari TEC
Surabaya. Biaya kurang lebih 1,2 juta. Nah, sekarang kalian nggak perlu bingung
lagi mencari penerjemah tersumpah. ImaTransProof dapat membantu kalian untuk menerjemahkan
dokumen legal seperti ijazah, transkrip, surat keterangan domisili dan
lain-lain yang kalian butuhkan untuk mendaftar beasiswa. Kami menyediakan jasa
penerjemahan tersumpah pasangan bahasa Indonesia-Inggris, Indonesia-Mandarin,
Indonesia-Arab, dan lain-lain. Waktu itu, saya habis ngisi
materi terus dapat honor yang langsung saya gunakan untuk keperluan berkas ini hahaha. Allah memang Maha
Baik dan Pemurah.
Di waktu yang
sama, saya juga menyiapkan aplikasi ke beasiswa Fulbright. Hal paling berat
dari semua proses pendaftaran ini adalah membuat esai yang sesuai dengan minat
saya yang sebenarnya dan dengan sudut pandang yang berbeda (disesuaikan dengan
beasiswanya juga). Selama proses persiapan Fulbright, banyak orang yang sudah
saya repotin. Terimakaish buat Mbak Rahma yang sudah membantu mereview esai
awal saya (sebelum akhirnya berubah haluan hahaha). Terimakasih buat Mas
Eugine, Gabriel, Mbak Nurir, Mbak Frischa yang telah membantu dalam banyak hal.
Terimakasih juga untuk Pak Agung dan Mas Adis dari Dompet Dhuafa untuk dukungan
morilnya. Semua berkas sudah saya kirim. Sekarang waktunya berdoa yang kenceng.
Untuk yang kedua kalinya, saya mengirim aplikasi lagi ke AAS. Ditolak lagi.
Lalu, bagaimana
dengan MoE Taiwan Scholarship dan Fulbright?
Kabar baik dari
MoE Taiwan Scholarship muncul di email saya sekitar Mei 2020. Saya menerima
pengumuman lebih telat dari pada yang lain. Kebetulan suami Bu Ulul juga
mendaftar beasiswa yang sama dan sudah menerima love
letter 3 minggu sebelum saya menerimanya. Awalnya, saya sudah pasrah.
Sepertinya akan gagal lagi, mengingat saya belum mendapat kabar apapun. Namun,
ternyata ini adalah fase ujian keikhlasan dan kesungguhan yang sebenarnya.
Saya mendapat
penawaran sebagai penerima beasiswa MoE Taiwan Scholarship dan harus berangkat
pada bulan September 2020.
Sebaik
apapun kabar baiknya, ternyata Allah menyimpan kabar baik yang lebih saya
butuhkan dari sekedar kuliah di luar negeri. Menurut kalian, apa yang
seharusnya saya lakukan di saat seperti ini? [Lanjut Eps 2]
x
Komentar
Posting Komentar